Tahun Baru, Momentum, dan Kembang Api

Tahun baru. Semua yang baru. Realitanya semua itu tak seindah mimpi dan angan anak-anak. Semua hanyalah awalan dari siklus yang hanya akan berhenti saat nyawa tersangkut di tenggorokan. Boro-boro bicara soal kiamat. Belum tentu temen-temen ato ane juga bisa tuntasin tulisan ini dalam lima menit ke depan.

Semakin dewasa, ane selalu merasa ada sesuatu yang hilang. Semua hal yang dulu bisa ane nikmati setiap tahunnya kini terasa hambar bahkan nyaris tak bermakna. Entah itu momen saat bulan Ramadhan tiba, momen saat berkumpul bersama keluarga, atau bahkan saat tahun baru menjelang. Itu pun jauh sebelum depresi menyerang.

Namun, menit-menit di akhir tahun 2023 justru memercikkan kembali perasaan itu. Perasaan yang sudah lama memudar akan arti dari sebuah momentum.

Percikan Kenangan

Bumi semakin tua dan begitupun ane. Gempa mengguncang Bandung tatkala hujan baru saja reda. Semua itu awal dari pikiran tak berujung yang harus segera kembali ditancapkan ke dalam realita agar terbebas dari jebakan depresi di depan mata. Niatan untuk bakar-bakaran di teras rumah pun urung. Ane hanya terpaku sejenak di dekat kamar. Pikiran ane melayang tak karuan begitu saja.

Lalu, sayup-sayup lantunan zikir dari pengeras suara masjid dekat rumah menarik ane kembali pada momen saat itu. Lantunan wirid dari pengeras suara masjid di malam tahun baru itu, bagi ane, gak biasa. Soalnya di sekitar tempat tinggal ane sekarang itu umumnya wirid itu baru didengar dari toa masjid pas malem Jum’at. Semua mengingatkan kembali akan rasa syukur yang terlindungi dari ancaman gempa sekaligus menentramkan jiwa. Lantunan zikir itu pula menjadi kunci sekaligus pemicu dari setiap fragmen ingatan dan perasaan yang sempat menghilang saat beranjak dewasa.

Ane terpejam begitu saja dengan perasaan damai dan seakan dalam pelukan penuh kehangatan. Tanpa berujung baca doa sepuluh kali apalagi baca artikel random atau farming event game yang kerap memicu rasa kantuk.

Kembang Api dan Kenangan

Dentum kembang api beruntun dari luar rumah mengguncang dinding rumah. Tidak sekuat gempa, tapi cukup untuk membangunkan ane dari tidur. Ane lirik ke arah jam ponsel. Ternyata sudah jam 12 lebih 5 menit. Ane terdiam sesaat lalu menyibak sedikit tirai penutup jendela kamar.

Seberapa besarkah ukuran kembang api hingga guncangannya sekuat truk lewat? Ane terpaku tatkala menoleh ke arah langit. Pijaran bunga api meluncur tinggi ke langit lalu meledak bak dandelion beraneka warna bermekaran tak sampai satu kedipan.

Efek dari lantunan zikir yang turut ane ikuti sebelum tidur pun masih terasa. Masa kecil ane tidak sepenuhnya bahagia, tapi ada beberapa momen berkesan yang selalu berakhir bahagia seperti halnya tahun baru. Salah satunya adalah kisah di balik seri komik Angelic Layer.

koleksi komik Angelic Layer pribadi
sumber foto: koleksi pribadi

Itu satu-satunya seri komik yang komplit dibandingin semua komik yang ane beli dari zaman sekolah. Selebihnya ada yang cuma kebeli buku pertamanya, tapi susah nyari buku terakhirnya. Begitu pun sebaliknya.

Angelic Layer itu komik pertama yang ane beli pake uang jajan sendiri. Ane nemu komik ini dari iklan di majalah Bobo dan langsung ane beli di jongko koran samping sekolah gara-gara pengarangnya CLAMP. Maklumlah. Saat itu penulisnya demen Cardcaptor Sakura.

Dulu komik itu murah banget sampe bisa kebeli anak SD. Seriusan.

Saat anak-anak seusia ane (pada masa itu) pake duit jajan buat nongkrong, ane lebih milih ngumpulin duit jajan buat beli buku nonfiksi sama komik.

Ane inget cuma buku pertama yang ane beli sendiri pas masih baru rilis. Buku kedua sampe keempat itu dibeliin Mas Sigit, kakak sepupu ane, pas diskon gede-gedean di Gramedia Bandung Supermall (yang sekarang jadi Trans Studio Mall). Sayangnya saat itu gak beli buku kelima. Nyari buku kelima itu susahnya setengah mampus dan baru dapet waktu nyari buku di Palasari sepulang sekolah waktu SMK.

Kenangan soal komik itu menjadi kenangan pertama yang kembali muncul setelah sejak lama di tengah hujan kembang api.

Bicara soal kembang api, ane teringat akan almarhum Pakde yang meninggal hampir dua bulan setelah lebaran tahun lalu.

Ane inget selalu nginep di rumah sodara tiap akhir pekan terlebih saat momen tertentu seperti libur sekolah atau tahun baru. Biasanya kalo gak di rumah Ua ya di rumah Pakde.

Kalo di rumah Ua mah biar bisa main PS (soalnya pada masa itu Ua punya rental PS) di samping banyak sodara yang sepantaran buat lari pagi bareng. Soalnya ane males kalo olahraga sendirian. Kalo di rumah Pakde sih karena deket dari rumah. Ya biar kata selalu jadi sasaran omel Bude, Mbah, apalagi tetangga sebelah Pakde karena sering berantem sama anak tetangganya. Kadang juga dimarahin gara-gara rasa ingin tahu ane yang kelewat besar sampe dikira tukang ngacak-acak rumah.

Kenangan ane di rumah Ua itu biasanya main, tapi kenangan di rumah Pakde justru bersama Pakde sendiri. Ane inget waktu kecil Pakde sering ngajakin ke BSM pas malem tahun baru. Bukan buat belanja apalagi jalan-jalan ke mal. Maklumlah, mal emang sering adain diskon gede-gedean di akhir tahun. Rumah Pakde emang deket sana juga.

Pada masa itu, area di sekitar BSM itu masih tanah kosong yang luas di samping untuk area parkir. Bukan banyak bangunan seperti era TSM sekarang. Tempat itu kadang menjadi area berkumpul penduduk sekitar untuk menonton pentas kembang api. Tidak peduli kembang api yang diluncurkan di sekitar BSM atau tempat lain di dekat sana.

Pakde sering mengingatkan ane setiap kali acara kembang api akan dimulai. Ane sering sengaja begadang agar gak ketinggalan nonton momen tahunan itu. Ane menonton kembang api bersama Pakde juga penduduk yang tinggal di sekitar atau sekedar mampir untuk melihat kembang api. Itu menjadi salah satu momen yang tidak terlupakan sewaktu nginep di sana.

Ketika ane liat kembang api dari jendela kamar semalem, kenangan itu kembali muncul. Pakde udah gak lagi bersama dengan keluarga besar ane di Bandung. Kenangan menonton kembang api sambil menjahili Pakde itu takkan bisa kembali lagi. Apalagi ngajakin main kartu terus dimarahin karena disangka mau main judi.

Ane sudah besar. Kini giliran ane menemani anak kecil menonton kembang api sambil melindungi senyuman di wajahnya, seperti saat Pakde menemani ane dulu.

Mencari Makna dari Luapan Kenangan Masa Kecil

Apa menariknya sebuah kembang api? Apa itu sebatas membuang-buang waktu dan uang? Lalu kenapa kembang api selalu saja menjadi sumber inspirasi dari kultur populer seperti lagu?

Salah satunya seperti lagu ini.

sumber video: F4vevo/YouTube

Buat yang gak tahu artinya, judulnya itu “Season of Fireworks” alias musim kembang api.

Kenapa orang-orang sangat menyukai kembang api? Jawabannya justru berada pada salah satu quest karakter Genshin.

Yoimiya bukanlah karakter yang punya damage gede macam Hu Tao, Shinobu, robot Shogun, Navia, apalagi “babysitter-nya Furina”. Dia juga bukan karakter populer yang sering muncul dalam event. Bisa dibilang Yoi itu karakter yang bikin ane ngerasa nyaman setiap muncul seperti halnya Itto, Mao Xiangling, dan si Topi Gendang. Semua karena satu hal: kecintaannya akan kembang api.

Dia memandang kembang api itu tidak seperti orang lain yang sebatas melihat keindahannya di langit. Baginya, kembang api juga pengingat untuk menikmati indahnya hidup yang sementara selagi sempat.

Kini ane paham maksud dari perkataannya dalam quest. Ternyata tidak mudah untuk menikmati hidup saat ini.

Hidup memang melelahkan. Kita baru benar-benar beristirahat setelah mencapai kebebasan finansial atau sudah meninggal.

Apakah bosan kita hidup setiap saat dengan melakukan hal yang itu-itu saja? Pikiran itu pastilah muncul seiring kita bertambah tua dan dewasa. Apalagi dengan kondisi sekarang yang udah mah tidak menentu dan beda tipis dengan plot novel distopia. Kadang kita ingin beristirahat, tapi tidak bisa. Kadang pula kita melupakan hal-hal yang pernah kita sukai karena kesibukan pribadi.

Kadang jargon “hiduplah hanya untuk hari ini” sebatas perkataan semu, klise, dan tanpa penjabaran yang mudah dicerna. Toh kita dilahirkan dengan kemampuan kognitif yang berbeda-beda. Namun, cara paling sederhana untuk memahami hal itu hanyalah melakukannya. Iya. Nikmati saja setiap momen yang kita jalani tanpa gangguan lalu pikirkan saat itu sembari mengucap syukur.

Ane jadi teringat akan sosis yang dibeli si Rifnun. Gak bisa bakar-bakaran di luar, apa salahnya manggang sosis di rumah?

sosis bumbu barbekyu biasa
sumber foto: koleksi pribadi

Seperti halnya melihat kembang api yang sementara, ane belajar untuk menikmati setiap suapannya. Ane kunyah lembut setiap gigitan sosis perlahan-lahan. Ane biarkan aroma asap dari bumbu barbekyu, manis lembut dari kecap, dan tendangan pedas dari sambal yang ane oleskan saat memanggangnya. Pikiran ane yang sempat tidak karuan pun sengaja dikosongkan lalu fokus pada permainan rasa antara bumbu dan sari dari campuran daging pada sosis Kanzler yang masih hangat.

Sepele memang. Namun, ane merasakan kedamaian di antara dinginnya malam Bandung yang mencubit. Ketika lidah ane sedang berwisata rasa, hati ane berucap syukur. Belum tentu ane bisa makan sosis Kanzler seperti saat itu. Belum tentu juga ane bisa menikmati momen-momen lain setelahnya.

Pengalaman di malam tahun baru itu benar-benar menyadarkan ane. Tidak ada salahnya untuk menikmati setiap momen yang kita lalui sekarang. Anggap saja semua itu adalah pengalaman pertama yang menakjubkan seperti saat kita masih kecil. Kadang hal sesederhana itu bisa menjadi kenangan berharga sekaligus obat di tengah penatnya kehidupan modern yang kerap terlupakan.

Tinggalkan komentar