Belajar Menikmati Hidup

Kiamat sudah dekat. Setiap kali ane mendengar frasa itu, hati ane selalu tergigit lalu berakhir dengan kabut pikiran yang tak berkesudahan dalam kurun waktu tertentu.

Frasa itu sering didengungkan hampir setiap hari dalam ceramah di masjid sekitar rumah. Semua terus saja berulang bahkan dari mulut orang-orang terdekat.

Kondisi hati ane semakin memburuk apabila setelah mendengar frasa itu lalu diiringi berita negatif tentang dunia dengan keadaan tak ubahnya plot novel distopia dan post-apocalypse yang populer belakangan ini.

Kenapa orang-orang negeri ini selalu terobsesi akan hal itu? Pikiran bodoh ane selalu bertanya hal itu hampir setiap saat.

Panggil aja ane cemen. Ane emang cemen. Seorang INFP aka mediator yang sangat sensitif akan keadaan dan terkadang diperburuk dengan depresi.

Frasa itu saja membuat ane selalu berpikir mendalam. Tidak hanya tentang amal ibadah (terutama sholat yang masih belang betong), dosa, tetapi juga makna dari eksistensi diri sendiri.

Kenapa ane harus hidup jika harus menyaksikan dunia akan hancur esok hari?

Apakah keberadaan kita itu layaknya sebuah karakter yang dimainkan oleh penulis sebatas untuk memuaskan “hasrat menyiksa karakternya”?

Isi pikiran ane terkadang “berbahaya” untuk dipahami orang lain. Tak jarang, orang lain menganggap pikiran ane itu “terlalu berat”. Bahkan dulu jurnal ini saja sempat dikatakan “kontennya terlalu berat” oleh guru mata pelajaran Komputer SMP ane. Soalnya dulu ane pernah dapet tugas bikin blog lalu ane tampilkan jurnal ini saja demi mendapat nilai.

Memang ada beberapa tulisan yang temanya berat untuk anak SMP pada masa itu dan sedikit bercampur bumbu-bumbu chuunibyou. Ane sengaja hapus beberapa tulisan itu demi mengubah konten biar agak ngelawak dan jumlah pembacanya meningkat seperti sekarang. Tentu saja, sesuai dengan slogan jurnal ini, semua itu adalah “catatan (isi pikiran) ane yang apa adanya”.

Pikiran akan Eksistensi yang Berbahaya

Sekilas ane memang seperti seorang badut. Terkadang tampak bodoh di hadapan orang lain. Senang tertawa dan menertawai diri sendiri. Namun, ane bukanlah badut nihilis seperti Babang Kefka apalagi Joker. Ane memang seorang badut yang hanya ingin menutupi luka dan rasa sakit dengan tawa layaknya Robin Williams.

Ane emang dikenal memiliki ingatan kuat, tapi kemampuan itu mulai tergerus akibat depresi. Ane pernah ingat ane pernah menangis di masa kecil. Anak kecil menangis itu biasa, tapi hal yang ane tangisi itu sesuatu yang aneh.

Emak: Ka, kenapa?

Ane: Aku gak mau mati! (dengan rengekan dan pikiran yang kacau balau untuk ukuran anak SD)

sepenggal ingatan samar dari si penulis

Iya. Bahkan saat ane SD pun berpikir seperti itu. Semua bermula dari rentetan pertanyaan bodoh yang muncul sejak kecil.

Kenapa ane gak bisa melihat diri sendiri tanpa pantulan benda atau cermin?

Kenapa ingatan masa kecil pertama yang ane ingat itu “ketika hari hujan di tahun 1998, ane sedang belajar di dalam kelas TK”?

Jika waktu di dunia jauh lebih cepat dan singkat dibandingkan di akhirat, seberapa lama ane akan menghuni surga atau neraka?

Apakah ane akan bosan menunggu semua orang yang ane sayangi itu sendirian di akhirat sana?

Kenapa ane harus hidup?

Pikiran itu sempat menghilang sewaktu SMP bahkan SMK, tapi terkadang muncul kembali ketika terpicu hal-hal tertentu. Entah itu ketika ane sedang sendiri atau terpicu setelah mendengar pembicaraan tentang kiamat.

Lantas, kita ini siapa? Untuk apa kita hidup? Apakah ane atau temen-temen yang menjadi tokoh utama dari sebuah kisah penuh misteri bernama kehidupan?

Sebuah Titik Balik

Depresi. Satu kata yang kerap disalahgunakan anak-anak zaman sekarang agar terlihat keren. Memangnya apa yang keren dari mengidap penyakit kejiwaan seperti depresi, bipolar, skizofrenia, atau bahkan menjadi psikopat?

Ane inget satu hari sewaktu PKL di kantor. Tepat di tahun 2016. Ane menikmati pekerjaan ane di sana meskipun bukan orang yang pandai ngoding. Ane bekerja di lingkungan kantor yang nyaman, dikelilingi para staf bahkan sesama mahasiswa yang baik, mentor yang menuntun pekerjaan secara jelas, beban kerjanya masih masuk akal, dan dekat dengan masjid. Ane jauh lebih menikmati waktu bangun tidur untuk PKL daripada harus ke kampus.

Tepat di hari itu, dunia pun jungkir balik. Awalnya ane pergi ke kampus untuk mengurusi berkas PKL. Ane lalu mendapat nilai E pada salah satu mata kuliah. Saat ane PKL, transkrip mata kuliah semester lalu belum keluar. Ane PKL di semester 5 soalnya ane kuliah D3. Berdasarkan peraturan dari kampus, nilai E berarti otomatis dikeluarkan.

Ironisnya, materi mata kuliah itu justru memudahkan ane belajar menulis naskah dan memahami berbahasa Indonesia yang baik di masa depan.

Ane benar-benar lemas sewaktu meninggalkan bangunan kampus. Ane tidak bisa lagi menjadi bagian dari kelas A 23 (kelas yang jadi easter egg di seri si Abay) dan lulus bersama-sama dengan mereka. Ane tidak bisa kembali ke kantor. Ane hanya bisa menangis lalu pulang ke rumah dengan langkah lunglai. Pandangan mulai menggelap. Badan ane terus bergerak seakan tanpa tulang.

Saat itu ane tidak ingin melakukan apapun apalagi untuk sekedar bangun. Berhari-hari pintu kamar ane terkunci rapat. Badan ane semakin melekat bahkan tenggelam dalam kasur pegas kamar. Jangankan untuk kembali bekerja, makan apalagi bangun pun enggan. Orang tua ane lalu membawa ane ke dokter, tapi ane bersikeras memaksa pergi ke psikiater.

Lalu, tepat di hari itu, psikiater memvonis ane mengidap depresi klinis. Penyakit menahun kedua setelah ADHD yang diidap sejak TK. Namun, ada beberapa hal yang keliru dari pemeriksaan psikiater. Itu karena ane benar-benar tertekan dengan Emak yang selalu ikut campur saat psikiater mulai menelusuri penyebab dari masalah ane.

sumber foto: Karolina Grabowska/Pexels.com

inilah yang ane rasakan saat itu

Saat itu ane tidak bisa jujur saat konsultasi berlangsung akibat mata laser Emak. Salah satunya ya salah meresepkan obat yang memicu efek samping terbalik. Lebih tepatnya memicu hiperaktivitas ane daripada berfungsi sebagai obat penenang.

Lagi, psikiater dan efek samping obat terbalik itu jadi easter egg di novel si Abay. Profesor Rachmat itu diambil dari nama psikiater yang pernah menangani ane dulu.

Semua berawal dari ketidakmampuan ane mengejar ketertinggalan kelas di kampus. Ane merasa orang paling dodol sekelas dan mulai bermalas-malasan karena merasa tidak bisa apa-apa. Hal itu diperburuk dengan ketidakpercayaan ane pada orang lain meskipun untuk meminta temen sekelas mengajari ane. Ditambah lagi ane benci ngoding sejak SMK. Ane terpaksa melanjutkan kuliah Informatika karena kuliah di kampus lama ane itu biayanya murah dan orang tua ane saat itu sudah pensiun. Ane sebenarnya ingin sekolah seni atau koki, tapi orang tua tidak memberi lampu hijau.

Sebenarnya ane mulai merasa ada yang salah sejak masuk kuliah. Ane juga kerap mengabaikan gejala itu hingga berujung sakit beruntun selama kuliah. Ane baru tahu dari psikiater jika sebenarnya sakit beruntun selama kuliah itu berawal dari stres. Ketika ane mendapat kabar jika dosen wali menawarkan “kesempatan kedua”, ane memilih untuk resign demi pemulihan kondisi fisik dan mental ane saat itu yang sangat rapuh.

Depresi itu ujung dari gunung es masalah pribadi ane. Sebenarnya kalo diceritain bisa panjang lebar pake banget dan melenceng dari fokus tulisan ini. Namun, kutukan itu ironisnya malah jadi berkat di masa depan.

Cara Pandang Kehidupan Pascadepresi

Depresi itu tidak bisa disembuhkan. Kampret emang.

Depresi memang bukan penyakit mematikan seperti halnya HIV/AIDS apalagi penyakit degeneratif seperti halnya Parkinson. Meskipun begitu, gejalanya bisa diredam atau dikurangi. Soalnya depresi itu bisa kambuh di luar kendali. Entah itu karena pengaruh musim atau karena hal lain.

Itu yang ane pelajari dari baca buku dan artikel tentang masalah kejiwaan. Gak cuma buat riset cerita si Abay sih. Lebih tepatnya agar ane bisa lebih mengenal diri sendiri.

Depresi itu juga secara gak langsung mengajari ane akan satu hal: belajar untuk bahagia.

Depresi itu seperti monster elemen gelap dalam gim. Cara untuk mengalahkannya itu dengan elemen cahaya. Namun, cahaya seperti apa? Apakah cahaya yang redup seperti lilin ataukah membakar mata seperti halnya menatap sinar matahari saat siang terik di tengah gurun? Cara untuk meningkatkan intensitas serangannya sendiri itu dengan naik level, baik level karakter maupun skill.

Belajar untuk bahagia sendiri seperti halnya menaikkan level skill dalam gim. Dengan level yang sepadan, depresi akan mudah ditaklukkan.

Ane kaget kalo si Rifnun juga mengidap depresi waktu terakhir kali ngobrol sama dia. Biar sama-sama punya depresi, pemicunya dan gejalanya beda. Dia depresi sama bipolar sementara ane depresi sama ADHD. Dia nanya cara ane buat mengatasi masalah yang mengacaukan kehidupan sejak 2016. Masalah ane justru teratasi lewat akumulasi semua hal yang pernah terjadi dalam kehidupan ane.

Singkat cerita: kombinasi antara masa lalu kelam, “pikiran berbahaya” ane, dan mode hiperfokus ADHD yang muncul di saat yang tepat.

Belajar Memaknai Kehidupan

Mari kita kembali bicara ke hal sebelumnya, bicara soal kiamat.

Kiamat pasti akan terjadi. Namun, kita tidak tahu kapan. Bahkan para cenayang, peramal, juga nabi sekalipun tidak tahu persisnya kapan. Kita cuma dikasih foreshadowing dari kejadian yang akan muncul di masa depan.

Lalu, buat apa kita hidup kalau besok kita mati? Pertanyaan itu masihlah menjadi misteri terbesar dalam skenario kehidupan kita. Mencari makna kehidupan itu adalah PR terbesar bagi umat manusia selama nafas masih dikandung badan.

NB:

Masalahnya pembahasan ini bakal nyerempet dikit ke agama. Jujur aja, ane paling males ngomongin soal agama terutama di ruang publik. Masalahnya sholat ane aja masih belang betong. Belum lagi pemahaman ilmu ane masih seujung kuku dan terkadang tidak sepaham dengan kebanyakan orang.

Jadi ya, mohon jangan dicerna bulat-bulat. Gunakan pikiran kritis dengan berpedoman pada keyakinan temen-temen dalam menyikapi tulisan ini.

Bagi para muslim, tujuan manusia diciptakan untuk menjadi khalifah-Nya. Itu bukan kata ane lho. Itu tersurat dalam Al Qur’an yang ane lupa di surat apa. Pernah jadi materi di buku pelajaran Agama juga. Ane kurang tahu ye kalo dilihat dari sudut pandang agama ato keyakinan yang lain. Setiap orang, baik beragama atau ateis, pasti punya cara pandang mereka sendiri dalam menyikapi masalah kehidupan.

Terus? Ane bukanlah pemikir yang mendalam apalagi seorang filsuf. Hanya orang biasa yang jalinan pikirannya merupakan untaian linked list yang jauh lebih kusut daripada gumpalan benang mainannya bos kucing.

sumber foto: Tamba Budiarsana/Pexels.com

santuy dulu, hooman!

Kalo dalam ajaran Islam sendiri, ada hal yang dikenal dengan rukun iman. Salah satunya adalah percaya pada qadha dan qadar. Singkat kata: takdir yang bisa diubah dan tak bisa diubah.

Coba kita berpikir sejenak soal ini.

Tunggu, bukannya itu berarti kita juga diciptakan dengan kebebasan untuk mengubah takdir diri kita sendiri? Hal itu sejalan dengan dalil dalam surat Ar-Rad: 11 yang sering menjadi sumber dari tulisan motivasi di internet.

… Allah takkan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka berusaha untuk mengubahnya sendiri …

terjemahan Ar-Rad: 11

Kita mungkin gak bakalan bisa mengubah hal yang sudah tersurat termasuk “kapan kiamat”, tapi kita bisa mengubah “hal yang bisa kita lakukan selagi masih hidup” termasuk dengan ending dari cerita kita sendiri.

Apakah berujung dengan akhir yang bahagia ataukah terjerumus dalam bad ending?

Apakah kita di sini hanya terus-terusan tenggelam dalam depresi ataukah berusaha untuk hidup bahagia?

Apakah kita hidup hanya untuk sekedar numpang makan, tidur, dan boker atau memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat apalagi dunia ini?

Coba pikirkan baik-baik. Semua jawaban itu sebenarnya ada pada diri temen-temen sendiri.

Terkadang hal yang sedang ane lakukan menampar ane akan realita. Jujur aja, ane kepikiran nulis tentang ini gara-gara kesentil sama event Arknights. Intinya ada bagian yang menceritakan soal si Mumu, salah satu karakter dalam event tersebut, yang berusaha menikmati hidup sebaik mungkin.

Singkat cerita: si Mumu adalah salah satu karakter yang sangat sensitif dalam lore Arknights sendiri. Dia bisa mati dalam kurun waktu kurang dari satu bulan jika kena “kanker batu”. Jangankan “kanker batu”, pencemaran lingkungan aja bikin rasnya susah bertahan hidup.

Namun, apakah Mumu pasrah gitu aja dengan nasib? Tidak. Ia berusaha memaksimalkan sisa hidupnya untuk hidup sebaik mungkin, merukunkan kedua temannya yang sedang berselisih, sekaligus membuat juga mencari tempat tinggal ternyaman untuk rasnya yang terancam punah.

Gara-gara event si Mumu, ane belajar dari artikel di internet soal “cara menikmati hidup semaksimal mungkin”.

Hidup memang sementara. Selagi masih ada kesempatan, apa salahnya kita tidak menikmati kehidupan itu selagi bisa?

Apa salahnya jika kita melakukan semua hal yang kita suka dan belum pernah dicoba sebelumnya?

Apa salahnya jika kita lebih meluangkan waktu untuk bersama orang-orang terdekat selagi sempat?

Apa salahnya jika kita melakukan kontribusi nyata bagi diri sendiri, orang-orang terdekat, atau bahkan lingkungan sekitar? Tidak perlu kudu sampai jadi relawan penyelamat bumi atau anggota tim pemulihan bencana, minimal dengan hal baik yang dilakukan diri sendiri seperti tersenyum.

Apa salahnya jika kita berusaha untuk menikmati setiap detik yang kita lalui sekarang? Memaknai setiap ayat dan doa yang kita lantunkan dalam ibadah. Menikmati kombinasi rasa dan tekstur setiap suap makanan yang sedang dimakan. Mensyukuri setiap hal kecil yang ada dalam hidup. Jangankan hidup sampai kiamat, lima menit ke depan atau besok aja belum tentu masih hidup kok.

Bicara soal menikmati momen, ane jadi inget kutipan yang populer di luar sana soal lagu.

Jika seseorang sedang senang, dia akan lebih memperhatikan melodi dari sebuah lagu.

Jika seseorang sedang sedih, dia akan jauh lebih memperhatikan lirik dari lagu tersebut.

anonim

Berhubung ane itu tipe orang yang kedua, ane malah lebih sering perhatiin lirik lagunya akhir-akhir ini. Contoh yang paling absurd itu lagu berbahasa Jepang.

Lirik lagu Jepang juga anisong aka OST anime liriknya sering ngomongin “eh langit hari ini cerah ya” atau pemandangan lain yang dirasakan dalam lagu itu. Kadang juga lagu berbahasa Jepang itu melodinya ceria, tapi liriknya kadang memiliki tema yang gelap.

Contohnya komentar lirik lagu “Ookina koe de”. Itu salah satu OST gim favorit ane yang liriknya rada-rada dark. Singkat cerita: biar kata hidup susah, nikmati saja atau bahkan jadikan hal itu sebagai bahan untuk menghibur diri.

Lagu Jepang juga anisong secara tidak langsung mengajari para otaku dan vvibu pelajaran tentang hidup: terkadang kita lupa bahwa menikmati setiap momen, biar sederhana, dalam hidup adalah salah satu seni dari kehidupan.

Buset cuma nulis ginian doang bisa lama dan panjang kayak gini! Gak apa-apa lah. Setidaknya dengan menulis atau melakukan hal yang kita suka, kita bisa belajar untuk fokus untuk menikmati momen yang kita alami sekarang. Bahkan ane sampe lupa waktu saking menikmati proses kreatifnya.

Tinggalkan komentar