Ane inget tulisan pendek yang ane buat sebagai tulisan curcol nyerocos gak jelas buat latihan menulis yang mulai menggunung dalam folder pribadi. Emak ane sampe nanya.
“Nulis aja mulu. Kenapa gak dimasukin ke penerbit?”
Alasannya ane malu. Ane itu pemalu berat dalam masalah mempublikasikan karya. Ane bukannya takut akan kritikan. Ane cuman malu pas cerita ane dibacain orang.
Ini cerpen ketiga yang ane publikasikan di jurnal ane. Ceritanya udah kelar dari lama tapi baru diunggah sekarang. Sebenarnya sih ini side story dari karakter novel yang ane masih buat. Cuman berhubung ane gak mau nyertain romance sebagai genre utama apalagi subgenre, jadilah ane bikin terpisah. Sedikit penjelas buat memahami cerita. Sebenarnya latar tempatnya itu “era middle earth tapi di masa depan”.
Jadi … mohon bimbingannya.
“Apa boleh aku meminta sebuah permintaan?”
“Katakan saja. Aku akan melakukannya.”
“Berjanjilah padaku jika kau akan terus berada di sisiku. Ingat. Janji jari kelingking.”
******
Rasanya sudah lama sekali aku tak bertemu dengannya. Bagaimana kabarnya dan entah apa yang ia lakukan di kehidupan berikutnya. Apa tempatnya di sini? Sudah lama sekali aku tak berkunjung ke desa. Entah apa yang terjadi selama ribuan tahun ini. Aku nyaris tak mengenali keadaan tempat tinggalku dulu. Wilayah desa bukanlah desa lagi. Daerah yang dahulu menjadi ladang penduduk kini bersatu dengan bagian desa. Aku masih melihat sebuah kastil tua yang masih tegak berdiri di pusat dengan kawasan pemukiman centaur di sebelah barat. Mereka terlihat sesekali lalu lalang di desa. Kini desa menjadi desa wisata yang penuh sesak oleh para turis. Ornamen-ornamen modern pun seakan mewarnai desa kecil ini tanpa merusak keindahan desa. Tak ada lagi perang saudara. Semua hidup damai. Baik itu manusia, centaur, para elf, turis-turis yang datang, dan tunggu. Sejak kapan aku melihat satyr di sekitar sini? Setahuku para satyr mengungsi akibat perang saudara dan serangan monster.
“Tuan ingin mengikuti tur di tempat ini?” tanya seorang satyr bertubuh kecil menyodorkan selembar peta padaku dengan senyuman selebar danau di selatan desa.
“Tidak. Satyr muda, bisakah kau tunjukkan padaku di mana letak Kuil Astoria?”
“Kuil Astoria! Aha! Tiga keping perunggu!”
Gajiku dalam sehari bisa habis dalam beberapa jam di tempat ini. Satyr kecil ini benar-benar pandai menguras dompetku. Kuil Astoria masih seperti dulu. Berada di atas bukit dan cukup jauh dari kastil. Kuil ini berada di perbatasan desa sebelah utara. Tak jauh dari markas Petugas Pelindung Desa. Tempat ini menjadi tempat populer kedua setelah monumen perdamaian centaur di tepi barat. Mataku tertuju pada sebuah gua kecil yang tersembunyi di dalam hutan. Kudengar makhluk mistis hidup di dalamnya. Menurut desas-desus di zamanku itu adalah sarang serpent. Ia sering menjelma sebagai sosok wanita cantik untuk menarik mangsanya. Bicara soal makhluk mistis, merepotkan juga hidup seperti ini. Untung saja mereka tidak menyadari aku ini siapa.
Kuil Astoria, benteng pertahanan terakhir di desa. Satyr kecil itu kemudian membawaku beserta turis lain mengunjungi sebuah bangunan kecil di tepi kuil.
“Tempat ini adalah makam seorang pendeta legendaris yang sempat hidup di desa ini. Ia adalah sosok yang berhasil menghentikan perang di desa.”
Ketika satyr itu menjelaskan tentang makam pada turis, aku menepi. Berjalan menuju ke luar rombongan. Seketika aku mendengar bunyi lonceng lembut seperti tertiup angin. Tak ada seorang pun yang membawa lonceng di antara para turis. Sejak kapan ada banyak toko suvenir di sini? Tak ada toko bunga di sini.
Ketika rombongan telah pergi, kutaruh seikat bunga dandelion di atas pusara. Dandelion. Hanya itu yang kutemukan di hutan. Sebuah pusara kecil dengan marmer seputih susu berukiran “Cattleya N. Raymist”. Aku tidak dengar apapun perkataan satyr kecil si pemandu wisata. Aku samar mendengar jika jasadnya dibawa dari hutan lalu dimakamkan di sini. Sekilas aku memandangi pusara yang seakan tersenyum kembali padaku.
******
Hari pertama di mana aku bertemu pertama kali dengannya. Hari itu aku baru saja datang ke istana sebagai kurir istana. Ada sebuah kawasan tempat tinggal khusus para pegawai istana tinggal. Hari itu pun aku terdiam. Seorang gadis berambut coklat panjang tiba-tiba menghadangku dengan pisau dapurnya.
“Hei! Kau gila menyodorkan pisau dapur pada orang yang baru datang!”
“Siapa kau? Apa kau ini penyusup yang sengaja menyamar sebagai pegawai istana?”
“Aku? Memangnya orang sebodoh diriku ini seorang penyusup? Gadis aneh.”
Ia lalu tertawa terbahak-bahak persis seorang lelaki. Seorang wanita bertubuh gempal dengan celemek belepotan pun datang.
“Cattleya! Jangan kau menodongkan pisau pada orang tak dikenal! Kembali ke dapur!”
Itulah pertemuan pertama dengan gadis aneh itu. Ialah Cattleya kecil yang seperti lelaki di balik penampilannya yang manis. Cukup manis untuk ukuran anak pelayan dapur istana. Pipinya bersemu kemerahan dengan sedikit bintik menghiasi wajahnya. Senyumannya selebar gerbang istana. Rambut panjangnya sering ia tutupi dengan topi pelayan. Ia tidak semahir para pelayan lain. Tidak heran ia dipindahkan begitu saja ke dapur istana bersama sang ibunda. Ia sangat mahir memainkan pisau dapur. Tidak heran jika.
Tek! Tek! Tek!
Pisau-pisau itu nyaris mengenai pipiku.
“Hei! Ini kue yang akan dikirim pada utusan kerajaan Galen! Apa kau tidak ingin yang mulia marah?!”
“Kupikir kau datang untuk mengerjaiku lagi.”
Tahun demi tahun berlalu. Rasanya gadis koki itu semakin besar. Tampaknya ada sesuatu yang aneh dari diriku. Tiba-tiba saja aku meminta salah seorang kusir istana mengirimkan sepucuk surat padanya. Ia pun membalas.
Dasar bodoh! Merayu seorang gadis pun tak bisa. Lelaki macam apa kau ini?
Dan di balik surat itu ia menjawab.
Temui aku di tepi danau malam ini. Hanya kau sendiri. Awas jika kau meminta bantuan kusir lagi.
Temui aku di tepi danau? Apa jangan-jangan ia akan menjadikanku sasaran lempar pisau? Rupanya tidak. Wajahnya kali ini semerah tomat segar yang kuantar ke dapur istana.
“Apa kau yakin jika kau benar-benar menyukaiku?
Apa kau tahu aku ini tidak secantik dayang istana lain? Aku juga tidak semanis mereka. Apa yang menarik dariku hingga kau bisa menulis hal seperti itu?”
“Aku tidak tahu. Aku suka gadis yang apa adanya sepertimu. Itulah yang membuatmu begitu menarik. Aku suka sosok gadis yang sederhana dan jujur.”
Seketika lidahku lancar mengutarakan isi hatiku padanya. Meskipun harus dilempari sayur mayur atau pisau setiap jam makan siang. Meskipun aku harus menjinakkan dia agar tidak bertingkah seenaknya. Meskipun aku harus mengejarnya ketika ia berlari ke hutan seorang diri. Meskipun aku harus mempermalukan diriku dengan surat yang aku sendiri tidak yakin dikirimkan pada seorang gadis.
“Kaulah satu-satunya lelaki di istana yang jauh lebih memahamiku dibandingkan siapapun, Ritter. Aku tahu kau selalu mengamatiku dari celah dapur setiap selesai bekerja. Aku tahu jika kaulah yang menaruh karangan bunga itu di depan pintu kamarku. Aku tahu jika kaulah orang yang berusaha meyakinkan putra mahkota jika aku itu tidak bersalah. Aku tahu jika kau selalu mengawasiku di saat aku … aku tak yakin. Aku tak tahu kenapa semakin lama rasa ini semakin aneh dan tidak masuk akal. Aku tak tahu kenapa aku bisa jatuh cinta pada kurir bodoh seperti dirimu.”
Aku begitu bodoh ketika aku menulis surat untuk melamarnya tanpa berpikir matang. Aku tak tahu harus bicara pada siapa. Kedua orang tuaku sudah membuangku. Kedua orang tua angkat elf yang mengasuhku selama ini tinggal jauh dari desa. Ketika musim dingin tiba, kusempatkan diriku mengunjungi mereka. Mereka tidak tahu jika aku sudah menikah di desa.
“Apa kau yakin dengan menikahi seorang manusia?” tanya ibu angkatku.
“Apakah salah jika aku menikahinya? Bukankah banyak darah campuran yang hidup di desa?”
“Bukan begitu, Ritter. Secara naluriah kau itu adalah musuh alami para manusia. Bagaimana bisa mereka menerima pernikahan ini? Apakah istrimu dan keluargamu tahu akan hal ini? Apa kau tidak berpikir apa jadinya jika mereka tahu siapa kau?” tanya ayah angkat.
Aku terdiam. Apakah keputusanku salah untuk menikahinya? Terlebih ketika aku tahu dua bulan kemudian ia sedang mengandung anakku. Semua perasaan itu bercampur aduk di kepalaku. Kedua orang tua angkatku telah memberi peringatan namun kuabaikan. Entah akhir-akhir ini aku merasa tak bisa mengendalikan diri di saat malam menjelang. Aku tak bisa meninggalkan istana sendiri, terlebih saat ia tengah mengandung. Bagaimana jika centaur atau mereka menyerang istana? Bagaimana jika suatu saat nanti aku … aku sendiri yang mengakhiri hidup keduanya? Aku takut. Aku tak ingin hidup seperti ini. Menderita setiap malam tiba. Setiap malam aku pergi meninggalkan desa untuk menenangkan diri.
Semua seakan seperti hujaman tombak di dada. Ketika mengetahui jika orang yang sangat kucintai suatu saat nanti akan membunuhku dengan kedua tangannya. Cattleya memang seorang dayang istana dan hidupnya berubah dalam semalam. Ketika kepala pendeta memutuskan untuk memilih seorang dayang istana menjadi seorang kepala pendeta berdasarkan pergerakan bintang, hal itu sangat mengejutkan. Bahkan para biarawati yang akan menjadi calon pendeta pun terperanjat. Termasuk aku. Aku tak menyangka takdir akan berubah secepat ini. Apakah ia masih tetap mencintaiku seperti saat ia masih menjadi seorang dayang istana?
Ia bahkan pergi meninggalkan istana dalam kondisi mengandung, suatu hal yang tabu untuk seorang pendeta. Beruntunglah Cattleya bertubuh kurus dan tertutupi oleh gaun pendeta yang longgar. Kami tidak bisa bertemu sesering dulu. Aku sibuk dengan tugas-tugas istana sementara dia sibuk akan rutinitasnya sebagai pendeta. Aku begitu khawatir dengan anakku. Apakah ia bisa bertahan hingga hari itu tiba?
Di sela-sela kesibukannya, Cattleya masih sering mengunjungi istana. Menemui kedua orang tuanya dan diriku. Suatu hari ibu mertuaku bertanya saat aku tidak bertugas.
“Ritter, apa kau yakin akan terus seperti ini? Bagaimana jika suatu saat nanti kuil tahu? Ibu khawatir dengan kalian berdua.”
“Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku dan Cattleya semakin jarang bertemu. Ia bilang tidak apa-apa.”
“Ritter, bawakan ini,” ibu mertua memberikanku sebuah keranjang yang aku tak tahu apa isinya. “Berikan ini padanya. Ibu takut hal buruk terjadi padanya dan anakmu.”
Pertama kali kakiku menginjak wilayah kuil sebagai seorang kurir. Cattleya yang kukenal benar-benar berbeda. Ia begitu anggun dan kuat ketika berada di sana. Berbeda dengan dirinya yang usil dan seenaknya di istana. Dengan pisau dapur dan sayur mayur tersedia setiap saat. Ia hanya menyunggingkan senyuman tipis di hadapanku. Persis ketika aku bertemu dengan permaisuri ketika menghadap raja. Ia kemudian berbisik pelan.
“Temui aku di tepi danau malam ini.”
Malam. Aku sangat membenci malam. Ia kemudian berbicara denganku di bawah naungan pohon poplar di tepi danau. Dengan kepala bersandar pada bahuku.
“Ritter. Aku lelah. Aku lelah jika harus seperti ini. Aku rindu masa-masa di istana dulu.”
“Kau adalah seorang pendeta. Tidak baik lari dari kewajibanmu.”
“Aku lelah. Bisakah aku bersandar di bahumu sebentar saja. Aku rindu saat itu. Ingatkah kau di sini kau benar-benar melamarku? Apa kau tahu suasana hari itu begitu syahdu?”
Kuberanikan diri untuk jujur di hadapannya. Perasaan itu semakin bercampur aduk. Apakah ia akan tetap mencintaiku apa adanya?
“Cattleya,” ia menoleh. Dengan wajah yang sama seperti pertama kali bertemu.
“Menurutmu bagaimana. Jika aku adalah salah seorang di antara mereka, apa kau masih mencintaiku?”
“Dasar bodoh! Kau masih tidak berubah. Kau ini manusia terbodoh yang pernah kutemui, Ritter Nomia! Mustahil mereka bisa hidup di tengah-tengah manusia dengan menyembunyikan jati dirinya. Mana mungkin ada monster yang sengaja mengakui jati dirinya di hadapan seorang pendeta? Jika ada ia jauh lebih bodoh darimu.”
Pantulan rembulan begitu indah ketika menatap dari danau. Pantulannya terlihat seperti butiran-butiran kristal berpadu menjadi satu dengan bintang-bintang. Mewarnai pekatnya biru malam. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Aku bahkan tak menyadari jika ia tertidur di bahuku. Tertidur begitu pulas dengan wajah polosnya. Sesekali ia tersenyum dalam tidur. Andai saja aku bisa memilih. Aku lebih memilih hidup sebagai manusia dibandingkan seperti ini. Cattleya, maafkan aku. Aku memang bodoh.
Hari demi hari kulalui dengan keheningan. Menutup rapat semua rahasia dari orang-orang terdekat. Terlarut dalam rutinitas pekerjaan yang kulakukan setiap hari. Sebisa mungkin mengambil pekerjaan ke luar desa untuk melupakan semua ini. Semua ini terbalas tuntas sudah. Seorang bayi kecil pun lahir ke dunia. Lahir secara diam-diam dengan bantuan seorang dayang istana teman kami di hutan.
“Lucunya anak ini. Ia persis seperti bapaknya.”
Sesosok bayi dengan pipi tembam nan menggemaskan pun lahir. Senyumannya begitu riang. Seakan tak tahu apa yang akan terjadi di kehidupannya kelak. Sekilas ia mirip denganku karena berambut hitam. Menurutku ia begitu persis dengan ibunya. Sorot matanya dan cara ia menyunggingkan senyum seakan mengobati rasa rinduku padanya. Cattleya sengaja menitipkan anak ini padaku dan keluarganya.
Bocah lelaki kecil itu tumbuh besar. Dengan mata cerah dan kulit semulus sang ibu.
“Ayah! Ayah! Ayo kita main!”
“Tunggu sebentar ya, Nak. Ayah harus menjemput ibu dulu.”
“Benarkah? Ibu akan pulang? Apa ibu akan membawa hadiah?”
Aku sengaja berbohong di depan anakku. Aku tak ingin ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya kelak. Aku takut jika ia akan sepertiku. Ia mewarisi bakat diriku dalam fisik manusianya. Aku takut jika ia tahu, apakah ia akan membenciku dan ibunya? Kurasa dengan membesarkan anakku sebaik mungkin hal itu mustahil terjadi.
“Ibu sudah kembali dari menemani paduka ratu?”
“Ibumu sudah kembali, Nak.”
Ia pun berlari menuju Cattleya yang datang dengan membawa bahan makanan di belakang. Tahun demi tahun berlalu namun tak ada yang berubah. Ia masih seperti seorang pelayan muda istana dengan ekspresi riang dan seenaknya. Anakku sangat merindukannya. Aku tak bisa mengatakan jika ia seorang pendeta. Aku hanya bercerita ia menjadi dayang istana yang melayani paduka ratu. Sejak paduka ratu jatuh sakit, beliau selalu pergi ke luar desa untuk berobat. Anakku percaya begitu saja jika ibunya pergi mengantar paduka ratu berobat.
“Ayah, semoga saja paduka ratu cepat sembuh. Aku rindu pada ibu. Kapan ibu akan kembali pulang?”
“Ayah juga tidak tahu.”
Ibu mertuaku datang membawa makanan untuk kami. Beliau lalu mengajakku berbicara di halaman belakang.
“Ritter. Ibu tahu ini keputusan yang sulit. Anakmu kini sudah besar. Kita tak bisa selamanya menutupi hal ini.”
“Aku tahu. Berkali-kali ia meminta ingin bertemu dengan ibunya. Aku tahu kediaman paduka ratu saat ini tak jauh dari kuil jadi aku masih bisa bertemu dengan Cattleya di sana.”
“Bagaimana jika kau mengajaknya ke sana? Tidak apa ‘kan jika kau membawa anakmu ke sana. Mereka takkan mengira dia itu anak seorang pendeta. Mereka mungkin akan mengira jika ia adalah asistenmu.”
“Benar juga yang ibu katakan.”
Keesokan harinya aku berjanji pada anakku untuk menemui ibunya. Ia amat senang. Saking senangnya ia tak bisa tidur.
“Ayah, aku tak sabar ingin bertemu dengan ibu. Ayah bilang jika aku membantu ayah bekerja aku bisa bertemu ibu.”
Aku hanya membalas dengan sebuah senyuman malam itu. Anakku seakan tak sabar. Kulihat matanya berbinar-binar dan tak bisa memejamkan mata. Kukecup keningnya malam itu lalu pergi diam-diam. Menenangkan diri di tepi danau, bermandikan cahaya rembulan nan penuh malam itu. Danau. Sebuah tempat penuh kenangan bagi kami. Saat aku melamarnya, menghabiskan waktu bersama, lalu tertidur bersama di bawah pohon. Danau itu memang terlihat begitu indah di malam hari. Permukaan airnya memantulkan cahaya langit bak kristal. Suasananya amat hening. Danau itu adalah perbatasan antara wilayah manusia dan centaur tinggal. Malam ini begitu syahdu hingga membuatku tak kuasa menahan tangis.
“Cattleya!” aku terduduk tak kuasa menahan bebanku malam itu. Kini aku terduduk sendiri, di tempat biasa kami menghabiskan waktu untuk bersama. Andai aku bisa memutar waktu. Aku ingin ia tetap di sisiku. Cattleya, andai saja kau tahu perasaanku saat ini. Aku sangat merindukanmu. Kini aku sendiri. Aku tak tahu pada siapa aku harus mencurahkan isi hati.
Meskipun aku bisa hidup ribuan tahun lamanya, lebih baik aku hidup sebagai manusia agar aku bisa tetap terus bersamamu hingga kami menua lalu terpisah untuk selamanya.
******
Aku masih ingat tempat-tempat di sini. Ini adalah monumen peringatan korban perang. Aku tahu tak hanya para centaur yang menjadi korban, terdapat pula manusia, satyr, dan goblin yang turut terkena imbas perang saudara itu. Desa ini tetaplah ramai. Aku masih melihat gerobak dan kereta kuda lalu lalang di desa ini. Maklum, ini adalah desa wisata. Tak boleh ada satu pun kendaraan modern yang memasuki desa ini kecuali sepeda. Mobil pun terparkir rapi di sebuah lapangan tak jauh dari markas Pasukan Pelindung Desa.
Aku berjalan menuju selatan desa. Itu adalah Danau Kristal, begitulah warga menyebutnya. Pantulan cahaya di permukaan danau terlihat laksana kristal. Tempat ini tertata. Banyak pondok-pondok kecil dari kayu dibangun di dekat danau. Ada kamar mandi umum, penjaja makanan, dan tempat itu masih ada. Aku bahkan bisa melihat diriku dengan Cattleya saling berkejaran di antara pepohonan di tepi danau. Aku hanya bisa melihat bayangan itu dan aku tak bisa menyentuhnya. Cattleya sudah tenang di alam sana. Saat kupandangi permukaan danau, aku hanya bisa menangis.
Sebagian besar waktuku bersamanya dihabiskan di sini. Seluruh tempat ini menyimpan kenangan tentang dirinya. Kulihat pohon itu. Apakah masih ada? Sudah tidak ada. Aku ingat di pohon itu aku dan Cattleya menuliskan nama kita pada pohon. Namun ada satu tempat di danau yang dipenuhi para turis dengan kameranya, tertulis “monumen cinta” pada sebuah papan tertancap kuat di tanah. Kulihat pula tulisan di bawahnya, barangsiapa yang menuliskan nama kekasihnya di sini cinta mereka akan abadi hingga maut memisahkan. Kulihat sepasang anak manusia berfoto di samping monumen itu. Aku tak sadar jika monumen itu terdapat sebuah relief bertuliskan
Aku akan terus menantimu di sini, Ritter
Kini pohon itu berubah menjadi sebuah monumen.
“Ayah.”
Kupikir aku mendengar anakku memanggil dari belakang, saat berbalik aku hanya melihat sesosok pria dewasa dengan senyum dan sorot mata persis dengan Cattleya. Apakah anakku masih hidup? Jika ia sudah meninggal, aku tak tahu di mana ia disemayamkan. Aku meninggalkan ia saat ia masih kecil. Bahkan aku belum sempat mengucap kata perpisahan. Aku tak tahu bagaimana wajahnya saat ia tumbuh besar.
******
“Ayah, ibu kapan datang?” tanyanya dengan wajah tak sabar saat berada di gerobak. Aku diminta mengantar tong-tong ini ke kuil. Kumanfaatkan saja kesempatan ini untuk mengajak anakku menemuinya.
“Ayah, di mana ibu? Ayah! Aku tak bisa melihat!” aku tersenyum melihat anakku yang sedang dikerjai oleh ibunya. Ia tak sadar ibunya berada di dekat gerobak lalu menutup kedua matanya.
“Ibu!”
“Kau sekarang berat juga!” ucap Cattleya sambil menggendongnya dengan pakaian pelayan. Biarkan saja mereka. Aku harus mengangkat tong-tong besar ini. Lagipula anakku sangat merindukan ibunya. Namun entah kenapa. Aku tak bisa meraihnya. Menyentuh wajahnya ketika ia tengah menangis. Memeluknya saat aku merindukannya. Bahkan saat aku berdiam di tempat biasa, tepi Danau Kristal kala malam menjelang.
“Ritter, apa sekarang kau tidak mencintaiku? Kenapa akhir-akhir ini kau selalu menjaga jarak dariku? Apa karena kini aku adalah seorang pendeta sehingga kau takut?”
Iya. Hanya itu. Aku tak bisa mendekatimu lagi. Aku sangat merindukanmu namun aku tak bisa. Sekujur tubuhku terasa sakit. Sebenarnya aku tak tahan. Duduk di sampingmu membuatku amat tersiksa. Kau seakan memancarkan aura pembasmi yang membuat tubuhku seakan terkena hujaman pisau-pisau yang biasa kau lempar semasa dulu.
“Ritter? Tubuhmu pucat. Apa kau sakit?”
Jangan, Cattleya. Jangan! Kumohon! Hentikan! Aku tak bisa berbuat apapun saat ia berhasil meraih tanganku, menahannya, lalu menyentuh dahiku dengan tangan lembutnya. Kumohon. Kau benar-benar menyiksaku. Kenapa? Kenapa? Apakah ini hukuman karena aku terlalu mencintainya?
“Astaga. Tubuhmu demam. Apa perlu kubawa kau ke tabib?”
“Ja-Jangan.”
“Kau masih ingin menyembunyikan soal pernikahan kita?”
Tidak hanya itu.
Aku tak ingin kau terluka.
Kau mungkin mengatakan aku ini bodoh sebelumnya. Tapi itulah kenyataannya. Aku berusaha memberitahumu namun kau anggap aku ini bercanda. Aku bukan seorang kurir istana biasa seperti yang kau kira selama ini. Aku adalah bagian dari mereka yang selalu kau buru setiap malam tiba. Aku tak ingin menyakitimu. Maafkan aku karena selama ini aku ….
“Ibu. Bisakah aku menginap malam ini?”
“Cattleya, bukankah kau ada rutinitas di luar?”
“Aku tak bisa membiarkan suamiku yang sedang sakit. Tidak apa-apa aku di sini melakukan kewajibanku sebagai seorang istri.”
“Cattleya, jangan. Bagaimana dengan keadaan desa saat kau tinggalkan?” lalu aku berusaha membujuknya agar pergi.
“Kau sakit. Kenapa kau lebih memikirkan diriku dibandingkan dengan dirimu, Ritter? Lagipula sudah lama sekali kita tidak bersama. Aku juga rindu dengan suasana rumah. Aku rindu pada ibu, kau, dan anak kita.”
Sorot matanya menyiratkan rasa kesepian dan kesedihan nan mendalam. Hidup laksana burung dalam sangkar emas. Itulah singkatnya kehidupan pendeta. Mereka dipuja dan disanjung laksana raja. Bahkan keluarga kerajaan pun sangat menghormati mereka. Singkatnya, mereka adalah sekelompok wanita suci dengan segala kemewahannya. Namun di dalamnya, mereka begitu kesepian. Seperti halnya Cattleya saat ini.
Rasa sakit ini. Hawa panas yang menusuk tulang. Rasa lapar yang semakin kuat. Berkali-kali aku nyaris tak dapat bernafas untuk menahannya.
“Ritter, kau tidak apa-apa?” seketika ia terjaga.
“Kau tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja.”
Kulihat ia dengan sabar menungguku di kamar lalu tak sadar jika ia tertidur tepat di perutku. Aku bisa mengelus rambut coklatnya. Rambutnya jauh lebih mulus dibandingkan saat ia masih kecil. Begitu lembut saat dibelai lalu terjatuh lemas. Pipinya masih semerah dulu. Tak apalah jika tubuhku kesakitan saat menyentuhmu. Mungkin sentuhan ini adalah sentuhan terakhir yang bisa kulakukan. Suatu saat nanti kita takkan pernah seperti ini lagi.
AAARRGGGH!
Kumohon. Jangan sekarang. Sontak itu membuat Cattleya terbangun.
“Ada apa?”
“A-A-Aku ingin ke kamar kecil.”
“Cepatlah kembali. Keadaan di luar berbahaya saat malam.”
Kamar kecil berada di luar rumah dan tak jauh dari sumur. Maafkan aku. Aku terpaksa membohongimu. Kuberlari sambil menahan semua rasa sakit ini. Sebisa mungkin. Sejauh mungkin. Aku tak ingin ia melihatku seperti ini. Itu semua karena aku sangat menyayangimu. Aku tak ingin melukai siapapun.
Semua ini membuatku gila. Suara ledakan dari sebelah tenggara wilayah centaur. Suara raungan monster yang kelaparan lalu memuntahkan tembakan cahaya penghancur hutan. Kumpulan awan tebal tersibak, memancarkan kecantikan bulan purnama. Tubuhku terduduk. Rasa sakit ini. Aku tak mau lagi. Aku tak ingin hidupku terus … terasa lapar. Kesadaranku mulai hilang sedikit demi sedikit. Syukurlah aku berada jauh dari desa. Tenggorokanku amat gatal. Aku tak sadar berjalan ke arah desa dan aku tak ingat apapun lagi.
Cattleya, mungkin ini kali terakhirku bisa memandangimu dari dekat. Aku tak yakin, setelah malam ini kita takkan seperti dulu lagi. Aku rindu saat sebilah pisau nyaris mengenai pipiku. Aku rindu suaramu saat mengataiku “bodoh”. Aku rindu senyumanmu nan teduh itu. Aku rindu dengan sikapmu yang selalu ceria walaupun didera masalah. Setelah malam ini, aku takkan bisa menyentuh atau mendengar suaramu.
“Hentikan!”
Cattleya! Pergilah! Aku tak ingin kau melihatku seperti ini! Saat mendengarnya, air mataku tak sadar membasahi pipi. Ia mengenakan pakaian rumah bersama seorang pendeta di dekatnya.
“Nona Cattleya, minggirlah. Nona tak bisa melawannya saat ini. Ia terlalu kuat untuk dihadapi.”
“Jangan, Gray! Aku merasakan ia tidak berbahaya. Kemampuannya memang jauh lebih kuat tapi ia takkan mengancam desa.”
“Nona, ia itu monster. Jika nona seperti ini, cepat atau lambat ia akan mendekati desa!”
Lakukan saja. Aku tak sanggup jika harus terus hidup seperti ini.
Aku mencintaimu namun aku tak bisa terus bersamamu. Lakukan saja. Aku pasrah. Jika kita berjodoh, mungkin kita akan bertemu lagi di kehidupan berikutnya. Aku ini monster ‘kan? Sosok yang seharusnya kau basmi. Apakah ini adalah hukuman karena aku menyukaimu? Jika aku tahu dari awal, aku akan menghindar. Aku tak ingin melihatmu bersedih.
Crat!
Kenapa? Kenapa kau lakukan ini? Cattleya! Seharusnya kau segera membasmiku. Aku baik-baik saja selama kau tidak terluka. Darah ini. Darah ini. Kenapa?
KENAPAAAAAAA???????????????????
Aku melukainya. Aku tak sengaja melukainya. Segera kuraih tubuhnya dengan kedua tanganku.
“Jika kau berani macam-macam dengan nona Cattleya, kubunuh kau!”
“Gray.”
Sontak pendeta muda itu tak bisa berkata apapun. Aku ini payah. Melindungi istriku saja aku tak bisa. Benar, aku ini bodoh seperti yang selalu ia katakan.
“Dasar bodoh. Jadi, inikah yang selama ini kau ingin katakan padaku?”
Maaf. Setiap kali aku menanyaimu hal itu, pastilah kau menganggap itu hanya candaan. Aku selalu cemas suatu saat nanti hal yang kutakutkan pun tiba. Jika kau tahu itu, apa kau masih menyayangiku sama seperti sosok kurir istana bodoh yang selama ini kau kenal?
“Sudah kubilang, hanya monster bodoh yang mengakui jati dirinya di hadapan seorang pendeta. Ironis memang. Aku heran, kenapa harus kau? Aku tak mengerti. Kau bahkan terlihat ‘lebih manusiawi’ dari mereka.”
Saat ia bicara, aku tak kuasa menahan tangis. Kubiarkan Cattleya terbaring di tanah. Lakukan saja. Tidak apa-apa. Aku lebih bahagia jika kau selamat. Selamat tinggal semuanya. Selamat tinggal Cattleya. Terima kasih. Terima kasih telah melepaskan penderitaanku selama ini. Secercah cahaya muncul dan aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya.
******
Menara kastil adalah objek wisata favorit selain Danau Kristal. Tempat itu menyuguhkan pemandangan terbaik dari seluruh desa. Kulihat sepasang muda-mudi bercengkrama sambil menikmati panorama desa dari atas menara. Seketika pandanganku samar, berganti dengan desa di masa lalu. Kini pasangan itu terlihat seperti diriku dan Cattleya. Aku ingat. Ketika istirahat, kadang ia membawaku ke puncak menara kastil.
“Hei. Tidak apa-apa kita berada di sini? Bagaimana jika nanti kepala dayang istana mencarimu?”
“Tenang saja. Ini jam istirahat. Hei! Lihat! Danau terlihat cantik jika dilihat dari sini. Sayangnya perang masih terus berlanjut di sebelah sana. Kapan perang itu akan berakhir? Aku tak ingin setetespun darah mengalir lalu merusak keindahannya.”
Saat itu kami baru saja menikah. Ia masih amat muda saat itu. Usia kami hanya terpaut tiga tahun. Bisa dibilang aku masih kecil jika diukur dengan skala makhluk mistis.
“Aku belum pernah mendengar hal-hal detil tentangmu padahal kita sudah kenal lama. Apa kau memiliki cita-cita?” ia saat itu begitu manis.
“Aku … aku hanya ingin menjadi seorang saudagar sukses agar aku bisa berkeliling dunia. Kau sendiri?”
“Aku akan menjadi seorang koki terhebat istana! Aku akan melayani tamu-tamu kehormatan dan mereka memuji hidanganku yang amat lezat. Keren ‘kan?” aku hanya membalas dengan senyum.
“Ritter. Ayo kita berjuang mewujudkan mimpi kita!” ia begitu bersemangat saat mengucapkannya. “Apa boleh aku meminta sebuah permintaan?”
“Katakan saja. Aku akan melakukannya.”
“Berjanjilah padaku jika kau akan terus berada di sisiku. Ingat. Janji jari kelingking.”
“Kau yakin,” Cattleya mengangguk.
“Kita harus tetap bersama sampai kita berhasil mewujudkan cita-cita itu.”
Cita-cita itu pun tak pernah terlaksana. Semua hanya menjadi angan. Garis kehidupan kami tidak seperti cita-cita yang kami utarakan dulu. Aku ingat saat kami diam-diam bertemu di tepi danau saat malam tiba. Itu adalah hari pertama ia kabur dari kuil hanya untuk menemuiku.
“Hei. Aku tak yakin apa kita memang berjodoh di kehidupan mendatang? Jika iya, bisakah kau menungguku hingga saat itu tiba. Andai aku bisa memilih, aku ingin menjadi orang biasa di kehidupan selanjutnya agar bisa tetap bersamamu.”
“Apa kau terbebani dengan situasi kuil?” ia mengangguk.
“Aku tak bisa bermain pisau sepuasnya di sana. Kenapa seorang pendeta tidak boleh menikah? Apa mereka tidak kesepian hidup melajang sendiri? Padahal hidup terasa jauh lebih lengkap jika kita bersama orang-orang yang kita sayangi. Iya ‘kan?”
Itulah yang kupikirkan saat mataku tertuju ke arah danau.
“Tuan Ritter.”
Rasanya ada yang memanggilku. Cattleya! Aku melihat ia tersenyum jahil dengan seragam pelayannya. Lengkap dengan penutup kepala dan sarung pisau yang menyatu dengan ikat pinggangnya.
“Tuan, ini aku.”
Ternyata bukan. Aku ingat gadis itu. Ia Rosalie, gadis perangkai bunga yang juga pelanggan tetap jasa kurir di kota. Ia masih muda namun ia dipercaya untuk membuat rangkaian bunga untuk acara-acara besar. Kuakui ia begitu mahir. Setiap rangkaian ia buat dengan teliti dan rapi. Kupikir ia datang kemari untuk berlibur bersama keluarganya. Setahuku ia adalah anak orang kaya.
“Apa tuan juga sedang berlibur? Tempat ini begitu indah. Aku tahu desa ini dari kakakku.”
“Iya. Apa kau tahu desa ini adalah kampung halamanku? Rasanya aku seperti kembali ke rumah setiap mengunjunginya.”
Waktu serasa terhenti saat aku menatapnya, berdiri manis sambil bersandar pada dinding kastil. Melihat ke arah pemandangan sekeliling desa dari ketinggian. Cattleya, andai saja kau masih hidup. Desa sudah banyak berubah sekarang. Desa lebih nyaman untuk ditinggali. Kau tak perlu khawatir untuk membasmi monster setiap malam. Keberadaan mereka lebih sulit ditemui dibandingkan dulu.
“Ritter.”
Seakan-akan kudengar sayup-sayup ia memanggilku lembut. Ah, itu hanya perasaanku saja.
“Nona Rose, apa nona pergi sendiri ke sini?”
“Aku kemari bersama bibi Lillia. Bibi Lillia takut ketinggian jadi bibi tak bisa pergi ke puncak menara bersamaku. Bibi sedang melihat-lihat museum kastil di bawah.
Tuan, aku merasa tempat ini terasa tidak asing. Lihat, aku bahkan tidak berada dalam grup pemandu wisata atau membawa peta. Rasanya aku seperti hafal betul tempat ini. Aneh sekali.”
Apa jangan-jangan itu kau? Apa kau benar-benar memenuhi janji itu?
“Rasanya setiap aku pergi, aku selalu bertemu dengan tuan. Bibi Lillia pernah bilang padaku. Pertemuan yang tidak pernah disengaja dengan orang yang sama berturut-turut bisa jadi berjodoh.”
Cattleya.
“Tuan, apa tuan sedang menangis?”